Alun-Alun Sebagai Sumber Identitas Kota di Jawa, Dulu dan Sekarang
ABSTRAK
Setiap orang yang berkeliling ke kota-kota di P. Jawa mulai dari
Jawa Barat sampai ke Jawa Timur pasti menjumpai alun-alun pada pusat
kota lamanya. Konsep penataan alun-alun pada kota-kota di Jawa ini
sebenarnya sudah ada sejak jaman prakolonial dulu. Jadi alun-alun
sebenarnya berpotensi untuk menjadi salah satu identitas bagi kota-kota
di P. Jawa. Hal ini penting mengingat sekarang kita sedang dilanda
krisis identitas baik dalam bidang arsitektur maupun perencanaan kota.
Tapi sayang nya alun-alun di kota-kota sekarang keadaannya sangat
menyedihkan sekali se olah-olah seperti ‘hidup segan matipun engan’. Hal
ini mungkin disebabkan karena kurang sadarnya masyarakat akan konsep
tata ruang kota Jawa dimasa lampau. Tulisan ini mencoba untuk mencari
sejarah alunalun di masa lampau, barangkali bisa dipakai sebagai salah
satu pertimbangan untuk menghidupkan kembali alun-alun kota.
ABSTRACT
Anyone going around Java, from one city to another, will
certainly come across ‘alun-alun’ in the center of each downtown. The
concept of ‘alun-alun has actually existed since the precolonial period.
Considering the identity crisis – in both the architecture and city
planning – that we are facing now, we can say that ‘alun-alun is
actually potential to show the identity of the cities in Java.
Unfortunately its existence is in a very poor condition. This might
happen because people are not fully aware of the concept of ‘Java city
planning’ in the past. This paper is meant to look for the history of
‘alun-alun’ in the past with the purpose of reviving the ‘alun-alun
kota’.
PENDAHULUAN.
Apakah sebenarnya alun-alun itu? Apa fungsi sebenarnya di masa
lampau? Mengapa alun-alun itu selalu terdapat di hampir setiap kota di
P. Jawa? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini selalu muncul dan perlu
diketahui sebelum kita bisa menentukan sikap lebih lanjut tentang nasib
alun-alun tersebut untuk masa mendatang.
Di dalam buku “Encyclopedie van Nederlandsch Indie” (Paulus, 1917:31), terdapat penjelasan tentang ‘alun-alun’ sebagai berikut :
“Di hampir setiap tempat kediaman Bupati, seorang kepala
distrik di Jawa, orang selalu menjumpai adanya sebuah lapangan rumput
yang luas, yang dikelilngi oleh pohon beringin di tengahnya. Lapangan
inilah yang dinamakan ‘alun-alun’. Di kota-kota bekas kerajaan kuno
(seperti Surakarta dan Yogyakarta), mempunyai dua buah ’alun-alun’,
sebuah terletak di Utara Kraton dan sebuah lagi terletak disebelah
Selatan Kraton. Di permukaan alun-alun tersebut tidak boleh ada rumput
tumbuh dan diatasnya ditutup dengan pasir halus. Di bagian Selatan dari
alun-alun tersebut terdapat pintu masuk yang menuju ketempat kediaman
Raja atau Bupati, dimana disana berdiri sebuah pendopo. Pegawai negeri
atau orang-orang lain yang ingin bertemu dengan raja atau Bupati
menunggu waktunya disana untuk dipanggil, jika Raja merestui untuk
menerima kedatangan mereka. Oleh sebab itu pendopo tersebut
kadang-kadang dinamakan juga Paseban (asal kata seba). Pada masa lampau
di alun-alun tiap hari Sabtu atau Senin (Seton atau Senenan) diadakan
permainan Sodoran (pertandingan diatas kuda dengan menggunakan tombak
yang ujungnya tumpul), atau pertandingan macan secara beramai-ramai yang
dinamakan ‘rampog macan’. Pada waktu pertunjukan ini raja duduk di Siti
Inggil, tempat yang paling tinggi dimuka pintu Kraton. Pada
tempat-tempat Bupati terdapat panggung untuk melihat tontonan tersebut.
Di Jawa Barat juga terdapat alun-alun kecil di depan rumah kepala desa,
tapi alun-alun tersebut tidak dikelilingi oleh pohon beringin. Mesjid
seringkali terdapat disebelah Barat dari alun-alun”
Kehadiran alun-alun sudah ada sejak jaman prakolonial. Meskipun
dari dulu sampai sekarang bentuk phisik alun-alunnya sendiri tidak
banyak mengalami perubahan, tapi konsep yang mendasari bentuk phisiknya
sejak jaman prakolonial sampai sekarang telah mengalami banyak
perubahan. Konsep inilah yang sebetulnya menentukan fungsi dan kehadiran
laun-alun dalam suatu kota di Jawa. Uraian dibawah ini mencoba untuk
menlusuri konsep yang mendasari kehadiran alun-alun di masa lampau,
sebagai pertimbangan untuk menghidukan kembali alun-alun yang sekarang
masih banyak terdapat pada kota-kota di Jawa, tapi keadannya seperti
‘hidup segan matipun enggan’.
Perlu dipikirkan disini bahwa persoalan dan kegagalan yang terjadi
dalam proses pembangunan seringkali bersumber dari keinginan membentuk
suatu masyarakat baru tanpa mengenal lebih dulu nilai-nilai tradisional
masa lalu.
ALUN-ALUN PADA JAMAN PRAKOLONIAL DI JAWA.
Dimasa lalu sejak jaman Mojopahit sampai Mataram (abad 13 s/d 18),
alun-alun selalu menjadi bagian dari suatu komplek Kraton. Kraton dalam
masyarakat tradisional masa lalu merupakan pusat pemerintahan dan
sekaligus merupakan pusat kebudayaan. Sebagai pusat pemerintahan dimana
raja tinggal, maka Kraton dianggap sebagai miniatur dari makrokosmos1.
Komplek Kraton biasanya diberi pagar yang terpisah dari daerah lainnya
pada suatu ibukota kerajaan, Batas pagar ini tidak selalu ditafsirkan
melalui sistim pertahanan, tapi dapat ditentukan juga dari aspek
kepercayaan/keagamaan. Untuk itu kita harus mengerti dulu hubungan
antara kepercajaan/keagamaan dengan kota/komplek Kraton.
Manusia yang religius seperti halnya mayarakat agraris yang
religius di Jawa ini biasanya membagi ruang menjadi dua jenis, ruang
yang homogen atau sakral (disucikan) disatu pihak dan ruang yang
inhomogen atau yang tidak teratur (bisa disebut profan) dilain pihak. Di
alam sakral segalanya teratur, baik tingkah laku manusia maupun
struktur bangunannya. Sedang di ruang yang inhomogen semuanya tidak
teratur, karena tidak/belum disucikan (Eliade, 1959:20-65).
Wilayah Kraton selalu dianggap sebagai wilayah yang homogen
(Sakral), yang teratur atau harus diatur. Manifestasi dari keinginan
inilah yang melahirkan konsepsi ruang dari susunan sebuah Kraton.
Seperti dijelaskan di depan bahwa Kraton dianggap sebagai miniatur dari
makrokosmos. Manifestasinya adalah sebagai berikut: tempat tinggal raja
yang biasa disebut sebagai ‘dalem ageng’ diibaratkan sebagai puncak
Mahameru (atau gunung Semeru di Jawa). Disinlah kekuasaan dan wibawa
raja dirasakan sangat besar. Di daerah lingkaran di luarnya disebut
‘negara agung’ (negara besar), batas luarnya adalah pelataran dalam.
Disini kekuasan raja masih terasa besar. Di luar ‘negara agung’
dinamakan kawasan ‘mancanegara’ (luar daerah). Ini sudah agak diluar,
tapi belum keluar dari batas teras Kraton. Di tempat inilah biasanya
raja menerima tamu. Diluarnya lagi disebut Pasisir. Batas luarnya sudah
mencapai Siti Inggil, bangunan di batas alun-alun dengan Kraton. Di
Pesisir raja makin jarang muncul, hanya beberapa kali dalam setahun
misalnya bila ada perayaan tertentu. Daerah paling luar disebut
‘sabrang’ (daerah seberang). Didaerah inilah bangsal pertemuan untuk
para Bupati ditempatkan. Jadi jelaslah disini meskipun tempatnya paling
luar tapi ‘alun-alun’ masih terletak di dalam komplek tembok/pagar
Kraton2.
Di dalam Kraton Majapahit seperti dilukiskan oleh Prapanca dalam Negarakretagama3,
di sebelah Utara dari komplek Kraton terdapat dua alun-alun.
Masing-masing dinamakan Bubat (terkenal sebagai tempat pertarungan
sengit antara utusan kerajaan pajajaran dengan pasukan Gajah Mada), yang
luasnya kira-kira 1 km2, dengan lebar kurang lebih 900.00 M dan
alun-alun Utara yang disebut sebagai Waguntur.
Meskipun keterangan Prapanca dalam Negarakretagama kurang begitu
jelas, tapi masih bisa ditangkap betapa pentingnya peran alun-alun
sebagai bagian dari pusat kota. Fungsi kedua alun-alun ini agak berbeda.
Lapangan Bubat lebih bersifat profan . Pesta rakyat yang diadakan
setiap tahun sekali pada bulan caitra (Maret/April) diselenggarakan di
lapangan Bubat. Pada 3-4 hari terakhir pertunjukan dan permainan
diselenggarakan dengan kehadiran dari raja. Fungsi lapangan Waguntur
lebih sakral. Lapangan ini terletak di dalam pura raja Majapahit, yang
digunakan untuk lapangan upacara penobatan atau resepsi kenegaraan. Di
lapangan Waguntur ini terdapat Siti Inggil, serta komplek pemujaan (kuil
Siwa) yang terletak di sebelah Timur dari lapangan Waguntur. Ini lebih
mirip dengan alun-alun Lor Kraton Yogyakarta atau Surakarta, hanya
komplek pemujaan pada alun-alun Lor diganti dengan mesjid yang letaknya
di sebelah Barat dari alun-alun.
Model yang masih bisa kita lihat sebagai prototype alun-alun kota
di Jawa pada jaman yang lebih muda adalah alun-alun Yogyakarta dan
Surakarta bekas perpecahan kerajaan Mataram dimasa lampau. Baik di
Yogyakarta maupun di Surakarta terdapat dua buah alun-alun yaitu
alun-alun Lor dan Kidul4. Di masa lalu alun-alun Lor
berfungsi menyediakan persyaratan bagi berlangsungnya kekuasaan raja.
Alun-alun Kidul berfungsi untuk menyiapkan suatu kondisi yang menunjang
kelancaran hubungan kraton dengan universum. Alun-alun Kidul dapat juga
melambangkan kesatuan kekuasaan sakral antara raja dan para bangsawan
yang tinggal disekitar alun-alun.
Alun-alun Lor Yogyakarta pada masa lalu berbentuk ruang luar segi
empat berukuran 300×265 meter. Di tengahnya terdapat dua buah pohon
beringin dan di sekelilingnya terdapat 64 pohon beringin yang ditanam
dengan jarak sedemikian rupa sehingga harmoni dengan bangunan
disekitarnya. Permukaan alun-alun ini ditutupi oleh pasir halus. Dua
buah pohon beringin ditengah alun-alun tersebut dikelilingi oleh pagar
segi empat. Orang Jawa menyebutnya sebagai ‘Waringin Kurung’. Nama
Waringin berasal dari dua suku kata “wri” dan “ngin”. “Wri” berasal dari
kata “wruh” yang berarti mengetahui, melihat. “Ngin” berarti memikir,
tindakan penjagaan masa depan (Pigeaud, 1940:180). Kedua kata tersebut
melambangkan kematangan manusia yang arief bijaksana, karena orang Jawa
berangapan bahwa kegiatan bijaksana berasal dari kosmos. Pohon beringin
dengan demikian melambangkan kesatuan dan harmoni antara manusia dengan
universum. Kesatuan ini tidak timbul dengan sendirinya. Pohon beringin
melambangkan langit dan permukaan tanah yang persegi empat didalam pagar
kayu mengartikan tugas manusia untuk mengatur kehidupan di bumi dan di
alam, supaya harmoni dengan hukum universum (Pigeaud, 1940:180).
Alun-alun jaman Mataram juga digunakan oleh warga (rakyat biasa)
untuk bertemu langsung dengan raja, guna meminta pertimbangan atau
sesuatu kasus perselisihan. Orang harus memakai pakaian dan penutup
kepala putih dan harus duduk menunggu diantara kedua pohon beringin
sampai diperbolehkan menghadap raja. Perbuatan seperti ini disebut
“pepe”.
Di sebelah Barat alun-alun terdapat mesjid. Di halaman mesjid
tersebut terdapat dua buah bangsal terbuka untuk dua buah perlengkapan
gamelan. Yang satu disebut “Kyai Sekati” dan yang lain disebut “Nyai
Sekati”. Keduanya dimainkan bergantian dimainkan hanya pada 3 upacara
keagamaan, yaitu: Garebeg Maulud, Garebeg Sawal dan Garebeg Besar. Di
seberang mesjid terdapat bangunan yang disebut ‘Pamonggangan” tempat
untuk menyimpan gamelan yang lain. Dahulu pada jaman Mataram, setiap
hari Sabtu sore (di luar Kasultanan diadakan pada hari Senin sehingga
sering disebut Seton atau Senenan) diadakan pertunjukan ‘Sodoran’5
di alun-alun. Gamelan tersebut dimainkan sewaktu ada pertunjukan itu.
Di sebelah bangunan “Pamonggangan” tersebut terdapat sebuah kadang
harimau dan binatang buas lainnya. Pada hari Sabtu sore selain
pertunjukan Sodoran kadang-kadang juga diadakan pertunjukan perkelahian
antara banteng dan harimau, yang selalu diakhiri dengan kemenangan
banteng. Lambang kekuasaan raja adalah banteng (dalam bahasa Jawa
disebut Maesa), sedangkan lambang kekacauan adalah harimau (dalam bahsa
Jawa disebut Simo). Pada jaman penjajahan banteng sering dilambangkan
dengan orang Jawa dan harimau sebagai orang Belanda. Dalam pertunjukan
ini banteng menang, dan orang Belanda ikut bertepuk tangan, karena
mereka tidak mengerti !
Ada juga dipertunjukkan membunuh harimau (simbol kekacauan), secara
beramai-ramai, yang dinamakan ‘rampog macan”. Jadi alun-alun yang pada
mulanya merupakan pelataran sakral yang melambangkan harmoni antara
langit yang dilambangkan sebagai pohon beringin dan bumi yang
dilambangkan sebagai pasir halus, dimasa ini telah bertambah artinya.
Kesimpulanya alun-alun pada jaman prakolonial bisa berfungsi sebagai (Santoso, 1984) :
- Lambang berdirinya sistim kekuasaan raja terhadap rakyatnya.
- Tempat semua upacara keagamaan yang penting (adanya hubungan penting antara Kraton-Mesjid dan Alun-Alun).
- Tempat pertunjukan kekuasaan militeris yang bersifat profane
ALUN-ALUN PADA JAMAN KOLONIAL
Untuk menjelaskan peran alun-alun pada jaman kolonial, disini
dicoba untuk melihatnya dari sudut susunan pemerintahan, karena
hubungannya yang sangat erat sekali. Salah satu unsur yang dikagumi
orang mengenai kolonialisme Belanda di Indonesia adalah sistim
pemerintahannya yang tidak langsung (indirect rule). Pemerintah
kolonial Belanda dalam memerintah Nusantara selain menggunakan pejabat
resmi seperti Gubernur Jenderal, Residen, Asisten Residen, Kontrolir dan
sebagainya, juga menggunakan pejabat Pribumi untuk berhubungan langsung
dengan rakyat, seperti Bupati, Patih, Wedana, Camat dan lainnya. Unsur
pemerintahan Pribumi ini biasanya disebut sebagai Pangreh Praja (yang
berkuasa atas kerajaan – orang Belanda memakai istilah ‘Inlandsch Bestuur’). Supaya lebih jelas dibawah ini diberikan diagram sitim pemerintahan Belanda sampai th. 1902.
Dalam sistim pemerintahan ‘Inlandsch Bestuur’ pejabat Pribumi yang tertinggi adalah ‘Regent’
atau biasa disebut sebagai Bupati, yang membawahi sebuah Kabupaten.
Siapa sebenarnya Bupati ini pada jaman kolonial? Di dalam sistim
pemerintahan Mataram terdapat 4 macam daerah yaitu (Kartodirjo, 1987:11)
:
1. Daerah Inti yang disebut Negara atau Kuthagara.
2. Negara Agung.
3. Mancanegara
4. Pasisir.
Daerah Macanegara dan Pasisir, penguasanya dinamakan Bupati. Mereka
adalah raja di daerahnya (Kartodirjo, 1987:12). Pada th. 1746 daerah
Pasisir jatuh ketangan Kompeni, maka Bupati-Bupati nya menjadi Bupati
Kompeni. Bupati Pesisir ini menjadi semacam ‘leverancier’
Kompeni. Mereka menyediakan barangbarang serta tenaga manusia untuk
Kompeni. Para Bupati ini dengan leluasa mengembangkan kehidupan istana
dengan meniru raja-raja Mataram di lingkungan masing-masing. Pada abad
ke 19 setelah runtuhnya VOC, pemerintahan di Nusantara diserahkan kepada
pemerintah kolonial Belanda. Para Bupati ini kemudian disebut sebagai
Bupati Gubermen, yang menjadi pegawai yang digaji oleh pemerintah
kolonial. Lalu apa hubungannya antara sistim pemerintahan ini dengan
alun-alun?
Rumah Bupati di Jawa selalu dibangun untuk menjadi miniatur Kraton
di Surakarta dan Yogyakarta. Di depan rumah Bupati juga terdapat pendopo
yang berhadapan langsung dengan alun-alun, yang sengaja diciptakan oleh
para Bupati untuk bisa menjadi miniatur dari Kraton Surakarta atau
Yogyakarta. Bahkan di alun-alun di pusat kota Kabupaten ini juga
diadakan perayaan semacam: sodoran, grebegan dan sebagainya. Rupanya
pemerintah Kolonial Belanda melihat unsur phisik tradisional ini sebagai
suatu potensi yang baik untuk dikembangkan dalam sistim pemerintahan
tidak langsung (indirect rule) yang diterapkan di Nusantara ini.
Dalam sistim pemerintahan kolonial, Jawa dibagi menjadi 3 Propinsi,
18 Karesidenan yang masing-masing dibawahi oleh soerang residen, serta
66 Kabupaten yang masing-masing dikuasi secara bersama oleh seorang
Asisten Residen (orang Belanda) dan seorang Bupati (Pribumi). Pada pusat
kota Kabupaten inilah dibakukan semacam lambang pemerintahan bersama
antara Asisten Residen dengan Bupati dalam bentuk phisik. Ujudnya adalah
bentuk phisik tradisional berupa rumah Bupati dengan pendopo
didepannya. Di depan rumah Bupati tersebut terdapat alun-alun yang
ditumbuhi oleh dua buah atau kadang-kadang sebuah pohon beringin.
Rumah Bupati terletak disebelah Selatan alun-alun, di sebelah Barat
terdapat mesjid Agung sesuai dengan kraton Yogyakarta atau Surakarta.
Di sebelah Utara alun-alun yang berhadapan dengan rumah Bupati sekarang
diletakkan kantor Asisten Residen Belanda, yang mengingatkan kita pada
benteng Vastenburg dan Vredenburg di hadapan Kraton
Yogyakarta dan Surakarta. Di sekitar alun-alun juga terdapat pasar,
stasiun bus, serta daerah pertokoan yang Alun-alun terletak tidak jauh
dari bangunan pemerintahan dan alun-alunnya. Model alun-alun inilah yang
kemudian berkembang sebagai prototype identitas kota Jawa pada jaman
kolonial.
Sifat sakral alun-alun di jaman kolonial kemudian berkembang lebih merakyat, pada jaman kolonial ini menjadi semacam ‘civic space’. Bahkan pada akhir jaman kolonial berkembang menjadi semacam ‘plaza’ di Eropa.
ALUN-ALUN PASCA JAMAN KOLONIAL
Setelah kemerdekaan, alun-alun masih menjadi unsur yang cukup
dominan di kota-kota Kabupaten sampai sekarang. Pada jaman pra kolonial
antara alunalun, kraton dan mesjid mempunyai konsep keselarasan yang
jelas. Maksudnya komplek tersebut memang merupakan ujud dari konsep
keselarasan antara mikrokosmos dan makrokosmos, yang diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari orang Jawa. Oleh sebab itu meskipun terdapat
transformasi bentuk alun-alun dari jaman Mojopahit sampai Mataram, tapi
terlihat adanya kontinuitas konsep pemikiran tentang penataannya. Pada
jaman kolonial kelihatan adanya diskontinuitas tentang pemikiran konsep
penataan alun-alun. Tapi secara halus Belanda berhasil membuat konsep
baru dalam penataan alun-alun kota untuk disesuaikan dengan sistim
pemerintahannya pada waktu itu. Sehingga muncul istilah kota-kota “Indisch”, karena munculnya kebudayaan ‘Indisch’, yaitu percampuran antara kebudayaan Jawa dan Kebudayaan Belanda6.
Pada awal abad ke 20, terjadi ‘westernisasi’ kota-kota di Nusantara. Kebudayaan ‘Indisch’,
yang pada abad ke 19 berkembang subur di Nusantara, kelihatan
menghilang, disapu oleh kebudayaan Barat modern yang dibawa oleh para
pendatang baru pada awal abad ke 20. Sejak awal abad ke 20 inilah mulai
kelihatan rusaknya alun-alun sebagai ciri khas kota-kota di Jawa.
Sesudah kemerdekaan Indonesia nasib alun-alun kota bertambah parah
lagi. Banyak pengambil keputusan atau kebijakan pembangunan kota
ragu-ragu atau bahkan tidak mengerti mau difungsikan untuk apa alun-alun
ini. Banyak alun-alun yang sekarang digunakan untuk tempat olah raga
sepak bola, tenis, basket, ada pula yang sekarang difungsikan sebagai
taman kota. Bahkan banyak yang sekarang tidak jelas fungsinya, karena
pusat kotanya sudah bergeser ke lain lokasi. Yang paling tragis lagi ada
alun-alun kota yang diincar investor untuk dibeli karena letaknya yang
strategis di pusat kota. Semuanya ini sebagai akibat belum adanya suatu
konsensus budaya yang jelas secara nasional, untuk bisa dipakai sebagai
pegangan dalam menangani alun-alun yang ada sekarang, sehingga wajar
kalau timbul kebingungan dalam menangani pembangunan nya. Jadi seperti
apa yang dilihat sekarang pada alun-alun kota, ingin meninggalkan pola
tradisional, tapi belum menemukan struktur-struktur baru yang mantap.
Sesudah jaman pasca kolonial ini alun-alun kelihatan seperti ‘hidup
segan matipun enggan’.
KESIMPULAN.
Nasib alun-alun yang tidak menentu sesudah jaman pasca kolonial ini
barangkali disebabkan belum adanya suatu konsensus budaya yang dapat
diterima oleh semua golongan. Etika keselarasan yang dipakai sebagai
sumber konsep untuk mewujudkan alun-alun kota, berakar dalam suatu
struktur sosial budaya dan pandangan dunia yang amat berbeda dengan apa
yang kita sebut sebagai modernisasi sekarang. Modernisasi bukanlah suatu
alternatif terhadap tradisi, tapi keduanya berkaitan secara dialektis.
Sikap kreatif yang dijunjung tinggi pada jaman modern ini misalnya,
berarti: bergairah untuk memikirkan, mencari, menemukan, menciptakan
sesuatu yang baru. Padahal tradisi masa lalu selalu bertitik tolak pada
keadaan selaras yang sudah ada, yang perlu dipertahankan, sesuatu yang
baru pasti mengacaukan harmoni dan harus ditolak. Terhadap keadaan yang
harmonis dan baik, yang baru mesti merupakan ancaman. Karena itu
pemikiran tradisional masa lalu yang berdasarkan keselarasan ditantang
untuk menunjukkan bagaimana dalam kerangkanya kreativitas dapat diminati
sebagai sesuatu yang positif. Konsensus misalnya, andaikata terbentuk
sifatnya mungkin hanya sementara saja. Adalah tidak mungkin untuk
mempertahankan nilai-nilai masa lalu dari arsitektur tradisional sebagai
dasar konsesnsus yang berlaku sekarang. Meskipun nilai-nilai dasar
dalam arsitektur tradisional tetap dipertahankan, perlu dipikirkan
pengembangan yang memadai untuk menghadapai tantangan-tantangan dewasa
ini. Pada masa lalu arsitek dan pemberi nilai terletak pada seorang saja
(Sultan Yogya yang pertama misalnya adalah sumber nilai yang sekaligus
juga arsitek Kraton Yogyakarta). Pada masa kini seorang arsitek adalah
pemberi ‘ujud’, dia bukan sumber nilai bagi masyarakatnya. Oleh sebab
itu diperlukan pemikiran dan kemauan semua pihak untuk mengatasi masalah
ini.
Catatan
1.Kepercayaan tentang kesejajaran antara makrokosmos dan
mikrokosmos (antara jagat raya dan dunia manusia) yang dijumpai dalam
hubungan kosmologis dari negara dan kedudukan raja di Asia Tenggara,
khususnya di Jawa, yang banyak dijumpai pada ujud :gelar-gelar raja,
pengaturan negara, penyuunan tata ruang ibukota, denah-denah Kraton,
candi-candi dsb.nya telah banyak dibahas para ahli misalnya dalam buku: Conceptions of State and Kingship in Southeast Asia oleh Robert Heine Geldern, Kraton and Cosmos In Traditional Java oleh Timothy Earl Behren dan sebagaina.
2.Disini jelas adanya perbedaan yang mencolok antara konsep
alun-alun dengan Agora di Yunani. Alun-alun pada awalnya dirancang
sebagai ‘ruang sakral’. Sedangkan Agora merupakan ruang luar yang
bersifat ‘profan’ sebagai pencerminan faham demokrasi yang dianut oleh
negara Yunani waktu itu.
3.Negarakretagama ditemukan di P. Lombok pada th. 1902. Sejak itu
banyak sejarawan dan ahli-ahli lainnya berusaha untuk merekonstruksi
ibukota Majapahit berdasarkan uraian yang dibuat Prapanca. Usaha
rekonstruksi ini dilakukan oleh Prof. H. Kern (1905 & 1914),
Poerbacaroko (1924), Stutterheim (De Kraton van Majapahit, 1941), Th.G.
Pigeaud (1960-1963), dan juga Prof. Slamet Mulyono (1965). Bahkan pada
th. 1970 oleh sarjana Perancis Denys Lombard.
4.Di Surakarta alun-alun Lor dan Kidul mempunyai dimensi yang
hampir sama luasnya yaitu kurang lebih 300×400 meter. Di Yogyakarta
alun-alun Lor mempunyai dimensi yang lebih kecil yaitu 300×265 meter.
5.Sodoran adalah pertujukan adu ketangkasan diatas kuda dengan
menggunakan tombak yang ujungnya tumpul. Tentang pertujukan Sodoran bisa
ibaca pada buku karangan Rob Nieuwenhuis, yang berjudul ‘Oost Indische
Spiegel’, yang dterjemahkan oleh Dick Hartoko, dengan judul “Bianglala
Sastra Belanda’, Djambatan, 1985, hal.5-7. Pertujukan Sodoran ini diceritakn oleh R. van Goens utusan V.O.C. pada jaman Mataram.
6.Tentang Kebudayaan ‘Indisch’ di Indonesia, baca tulisan Paline D. Milone, yang berjudul: “Indische Culture and its relationship to urban life”, dalam Comparative Studies in Society & History; vol.9, Jul-Oct., hal.427-436.
KEPUSTAKAAN.
Behrend, Timothy Earl (1982), Kraton and Cosmos In Traditional Java, Tesis M.A., University of Wisconsin-Madison.
Carey, Peter (1986), Asal Usul Perang Jawa, Pustaka Azet, Jakarta.
Coban, James L. (1970), The City Of Java, An Easy In Historical Geography, Ph.D. Thesis, University Of California.
De Kraton van Java Yogyakarta, De Indeeling van den Kraton Mooi Yogyakarta, Uitgave Kalf Buning.
Eliade, Mircea (1959), The Sacred and The Profan, Harcourt Brace & World Inc.
Geldern, Robert Heine (1972), Konsepsi Tentang Negara & Kedudukan Raja Di Asia Tenggara, terjemahan Deliar Noer, CV. Rajawali, Jakarta.
Kartodirdjo, Sartono, et.al. (1987), Perkembangan Peradaban Priyayi, Gajahmada University Press, Yogyakarta.
Milone, Pauline D. (1966-67), Indische Culture And Its Relationship To Urban Life, dalam Comparative Studies In Society & History, vol.9, Jul-Oct, hal.427-436.
Mulyono, Slamet (1965), Menuju Puncak Kemegahan, Sejarah Kerajaan Majapahit, dalam Bab. Negarakretagama Sebagai Sumber Sejarah Kebudayaan Ibukota Majapahit, Jakarta, Balai Pustaka. Hal. 44-46 dan hal.
Nieuwenhuis, Rob (1972) Oost Indische Spiegel,
ditulis kembali oleh Dick Hartoko dengan Judul Bianglala Sastra, Bunga
Rampai Sastra Belanda Tentang Kehidupan di Indonesia, Djambatan,
Jakarta. Hal. 5-7.
Paulus, J. (1917), Encyclopedie van Nederland Indie, Twee Druk, Martinus Nijhoff, S’Gravenhage, NV v/h E.J. Brill , Leiden.
Pigeaud, Th. G. (1940), De Noorder Aloen-Aloen Te Yogyakarta, dalam majalah Jawa, no.3, Mei 1940, hal. 176-184.
Santoso, S. (1981), Dinamika Perkembangan Arsitektur Di Jaman Prakolonial di P. Jawa, dalam majalah Dimensi no.5, 1981, hal. 34-36.
Santoso, S. (1984), Kosep Struktur & Bentuk Kota Jawa s/d Abad ke 18.
Sutherland, Heather (1985), Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi, SinarHarapan, Jakarta.
Tempo, 16 Pebruari 1985, Membangun Keraton Menurut Kawruh Kalang, Hal. 19-20.
Penulis merupakan Staf Pengajar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar