Jumat, 13 Mei 2016

MEDIA DI ERA DIGITAL




      Teknologi digital yang menawarkan kecepatan dalam memberikan informasi kepada audiens menyebabkan terjadinya mediamorfosis, baik pada media Radio, Cetak , maupun televisi. Revolusi teknologi telah mengubah cara media massa dalam menyampaikan informasi sebagai dampak hadirnya beragam perangkat yang memungkinkan masyarakat membaca, mendengar, dan melihat televisi lewat ponsel dan tablet.
        Setelah industri media cetak bertransformasi ke media digital melalui hadirnya portal online, koran elektronik (e-paper) dan lainnya, industri televisi dan radio pun mulai mengikutinya. Alasan yang mendasari adalah, kecepatan, kejernihan suara dan gambar, serta efisiensi dalam penggunaan spektrum frekuensi. Perubahan ini tentu saja membawa konsekuensi terhadap infrastruktur teknologi yang dipakai.
        Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah mencanangkan migrasi teknologi pertelevisian dari sistem analog saat ini ke sistem digital pada 2018. Pembangunan infrastruktur TV digital sebenarnya sudah mulai dibangun pada tahun 2012 oleh penyelenggara multipleksing swasta di sejumlah wilayah untuk mengantisipasi hadirnya era TV digital. Namun baru akan diwajibkan serentak pada tahun 2018 berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi No 32 Tahun 2013. Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan bagi penyelenggara multipleksing melakukan migrasi sistem pertelevisian dari analog ke digital yang membutuhan investasi mahal.
        Banyak masyarakat tidak paham perbedaan sistem analog dengan digital, termasuk infrastruktur di dalamnya. Penyiaran televisi berbasis teknologi analog yang sekarang kita nikmati, membawa konsekuensi kepada lembaga penyiaran untuk membangun infrastruktur sendiri, seperti pemancar, antena, dan lainnya karena tidak ada konvergensi dengan teknologi lain. Hal ini mengakibatkan pemakaian listrik lebih boros dan juga diperlukan lahan cukup luas untuk membangun pemancar. Disamping itu, televisi berbasis analog tidak mampu memenuhi tuntutan industri terkait jumlah penyaluran program karena dalam sistem analog diperlukan banyak kanal frekuensi. Sebab, satu kanal frekuensi hanya bisa dipakai oleh satu stasiun TV atau radio.
         Berbeda dengan penyiaran dengan menggunakan teknologi digital, tiap kanal frekuensi dapat dipakai oleh 12 stasiun TV atau radio. Tak hanya masalah besarnya kuantitas program siaran yang ditawarkan, teknologi digital juga memberikan kualitas penerimaan siaran yang lebih jernih. Pasalnya, sinyal pemancar TV digital lebih stabil karena hanya mengenal kondisi diterima (1) atau tidak diterima (0). Sepanjang pemirsa bisa menerima sinyal televisi, gambarnya dipastikan lebih jernih. Berbeda dengan televisi berbasis analog, sinyal yang dipancarkan tidak stabil sehingga menimbulkan noise (bersemut), tergantung cuaca dan kondisi lainnya.
         Pada dasarnya, televisi digital adalah televisi yang memakai modulasi digital dan sistem kompresi dalam penyiaran sinyal gambar, suara, dan data ke pesawat televisi. Sinyal digital berbentuk bit data seperti komputer.
         Membangun infrastruktur digital memerlukan investasi yang besar karena operator multipleksing TV digital harus membangun infratsruktur di zona layanan sesuai komitmen ketika menang dalam seleksi penyelenggaraan multipleksing. Meskipun demikian, operator multipleksing dapat menyewakan sebagian kapasitas yang dimilikinya kepada lembaga penyiaran televisi yang menyediakan program. Dengan demikian, lembaga penyiaran dapat menyewa slot siaran.
          Bagaimana dengan peralatan televisi yang kita punyai saat ini, apakah masih bisa dipakai pada era televisi digital nanti? Kemenkominfo telah membuat tahapan masa transisi untuk digitalisasi pertelevisian. Masyarakat tidak perlu membeli pesawat TV baru karena pemerintah akan memberikan converter (set top box/STB), yakni alat bantu penerimaan digital yang mengkonversi dan mengkompresi sinyal digital pada pesawat TV analog. STB sebagai receiver sinyal digital harus memiliki standard yang sama dengan sistem pemancar (transmitter), yaitu DVB-T2. Standard ini diadopsi Indonesia sejak 2012, menggantikan standard DVB-T (2007) sebagai standard penyiaran TV Digital terestrial penerimaan tetap free-to-air atau tidak berbayar. Tujuannya agar masyarakat bisa membedakan keunggulan sistem digital.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar